Laman

2 Sep 2012

Menelusuri Sejarah Cerpen Indonesia

     Cerpen singkatan dari cerita pendek yaitu suatu bentuk prosa naratif fiktif. Dibandingkan karya fiksi-fiksi lain yang lebih panjang, seperti novel, cerpen cenderung padat dan langsung pada tujuannya. Cerpen berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan secara singkat yang dengan cepat tiba ditujuannya, dengan paralel
pada tradisi penceritaan lisan. Bagaimanakah sejarah cerpen Indonesia?
Sejarah Cerpen Indonesia
    Dalam catatan sejarah, cerpen Indonesia, merupakan salah satu bentuk genre sastra yang usianya paling belia dibandingkan dengan novel atau puisi.

     Sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai sekitar awal 1910-an yang dipelopori oleh M. Kasim bersama Suman Hs. Bentuk pertama cerpen yang diperkenalkan berupa anekdot, cerita-cerita yang pendek dan lucu. Sejak saat itulah, bentuk penulisan cerita pendek mulai dikenal di Indonesia (Horison : 2002). Dalam buku Tjerita Pendek Indonesia (1959) Ajip Rosyidi juga menyebut Muhammad Kasim dan Soesman Hs sebagai tokoh penting dalam sejarah cerpen Indonesia,  perintis cerpen Indonesia. Pernyataan Ajip telah dibuktikannya dengan penelusuran jejak M. Kasim pada majalah Pandji Poestaka yang terbit tahun 1923. Kumpulan cerita lucu M. Kasim banyak dimuat di majalah tersebut.
     Di akhir abad ke-19 sampai zaman pendudukan Jepang publikasi cerpen masih muncul hanya melalui penerbitan media massa, hampir-hampir tidak ada yang dipublikasikan langsung dalam bentuk buku. Masa itu cerpen tidak dapat dipisahkan dari majalah atau surat kabar. Dari sanalah, cerpen Indonesia lahir, berkembang dan memperoleh bentuk yang lebih jelas pada tahun 1930-an. Pada zaman Jepang, pemerintah pendudukan Jepang banyak menyelenggarakan lomba penulisan cerpen.  Cerpen menjadi makin populer. Cerpenis-cerpenis yang pernah memenangi lomba penulisan cerpen waktu itu ialah, A.S. Hadisiswoyo, Muhammad Dimyati, Rosihan Anwar. Nama-nama lain yang banyak muncul di media massa dengan karyanya di antaranya, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan D. Djokokoesoemo.
     Keberadaan cerpen Indonesia semakin mapan di era tahun 1950-an. Pengaruh asing yang semakin deras, timbulnya semangat kedaerahan, dominasi pengarang Sumatra yang semakin pudar, dan terbitnya berbagai media massa, termasuk majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip Rosidi, memberi kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air.
     Keberanian para cerpenis dalam melakukan berbagai eksperimen, didorong dengan dibukanya kebebasan untuk berekspresi. Tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya pada sekitar dekade 50-an. Dekade 50-an disebut zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia, karena pada masa itulah muncul pengarang dengan karya yang fenomenal seperti Riyono Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, AA Navis, dan sederet nama lainnya. (Jacob Soemardjo dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia, 1975).
     Tema cerpen dekade 50-an lebih banyak condong pada agama yang tiba-tiba menjadi alat permainan. Penjelajahan pada agitasi dan kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana menyampaikan eksperimen. Perasaan si tokoh menjadi liar, aneh, dan tak terduga.
     Di awal masa Orde Baru sampai era 1970-an, kondisi demikian terus berjalan dan seperti berulang kembali, bahkan jauh lebih luas pengaruhnya. Karya-karya cerpenis seperti  Putu Wijaya, Danarto, dan Kuntowijoyo,  seolah-olah begitu menakjubkan dalam etalase dunia jungkir-balik. Hakikat cerpen yaitu cerita, seperti akan dikembalikan ke realitasnya. Tidak berlaku di sana logika formal. Cerpenis era 1970-an berhasil membangun estetikanya dibanding generasi sebelumnya, justru sejak awal kemunculannya. Dengan estetikanya itu, mereka tetap bertahan sampai kini. Jadi selain nafasnya panjang, cerpen karya Putu Wijaya seperti Bom (1978) dan Tidak (1999), dengan karya Danarto seperti Goddlob, dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001) juga menawarkan estetika yang mengakar kokoh hingga dapat bertahan lebih dari tiga dasawarsa. Oleh Korrie Layun Rampan cerpenis tahun 1970-an tersebut dimasukkan ke dalam kotak Angkatan 2000.
     Dalam satu dasawarsa ini sendiri, cerpen Indonesia semakin mengukuhkan jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam mainstream-nya sendiri. Hal tersebut semakin melengkapi penampang sejarah cerpen Indonesia untuk masa yang akan datang.
     Dengan ulasan singkat sejarah cerpen Indonesia ini, diharapkan mampu menggugah generasi sekarang dan mendatang khususnya yang menggeluti bidang penulisan dan kesusastraan untuk berkarya, meningkatkan mutu dan kualitas dalam mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan ide-idenya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar