Setelah selama sebulan umat Islam melakukan ibadah puasa, maka pada tanggal 1 di bulan Syawal umat Islam merayakan Idul Fitri. Tapi apa sebenarnya makna Idul Fitri itu?
Kata fitri pada masyarakat sering diartikan “berbuka” atau “berhenti puasa” yang identik
dengan makan minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri disambut dengan makan-makan dan minum-minum yang sering diadakan oleh sebagian keluarga. Benarkah demikian makna Idul Fitri yang dimaksud?
Kata fitri pada masyarakat sering diartikan “berbuka” atau “berhenti puasa” yang identik
dengan makan minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri disambut dengan makan-makan dan minum-minum yang sering diadakan oleh sebagian keluarga. Benarkah demikian makna Idul Fitri yang dimaksud?
Kesalahan Persepsi
Adalah suatu kesalahan apabila Idul Fitri dimaknai dengan ‘Perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum‘ sehingga yang tadinya dilarang makan di siang hari, hadirnya Idul Fitri akan dimaknai sebagai kembalinya kebebasan makan dan minum secara ‘jor-joran’. Atau kembali bebas berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan selama Ramadhan ditinggalkan, karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan akan kembali dilakukan. Atau untuk balas dendam yaitu balas dendam setelah sebulan penuh berpuasa dan berbuat baik, pada Idul Fitri kemaksiatan kembali dilakukan banyak orang.
Secara ringkas kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang shaleh musiman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrahan dan nilai ketaqwaan.
Persepsi Idul Fitri seperti yang demikian haruslah diluruskan dan dibenahi, sebab kurang mengekspresikan makna idul fitri yang sebenarnya. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai ‘kembalinya seseorang kepada fitrah asalnya yang suci‘ sepertimana bayi yang baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Suci yaitu masih tidak memiliki dosa. Secara metafor, ‘lahir kembali’ berarti seorang muslim selama Ramadhan melewatinya dengan melaksanakan ibadah puasa, qiyam, dan berbagai macam ibadahnya semestinya mampu kembali berislam, bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Idul Fitri berarti kembali kepada naluri kemanusiaan yang murni, kembali kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridhoinya dan kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak Islami. Inilah makna Idul Fitri yang benar.
Ketika merayakan Idul Fitri setidaknya ada tiga sikap yang harus kita miliki, yaitu:
- Rasa penuh harap kepada Allah SWT (Raja’). Berharap akan diampuni dosa-dosa yang telah berlalu. Janji Allah SWT akan ampunan dosa itu sebagai buah dari “kerja keras” setelah sebulan lamanya menahan hawa nafsu dengan berpuasa.
- Melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan. Apakah puasa yang kita lakukan telah sarat dengan makna, atau hanya puasa menahan lapar dan dahaga saja Di siang bulan Ramadhan kita berpuasa, tetapi hati kita, lidah kita tidak bisa ditahan dari perbuatan atau perkataan yang menyakitkan orang lain. Kita harus terhindar dari sabda Nabi SAW yang mengatakan banyak orang yang berpuasa tetapi tidak ikhlas dalam melaksanakannya: “Banyak sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya sekedar menahan lapar dan dahaga“.
- Mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan semangat dalam ibadah karena berlalunya bulan Ramadhan, karena predikat taqwa seharusnya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT: “Hai orang yang beriman, bertagwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam ” (QS. Ali Imran: 102).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar